Senin, 04 Maret 2013

Cerpen.Sahabat3


Persahabatan Terbaik


Acara televisi sore ini tak satupun membuat aku tertarik. Kalau sudah begini aku bingung entah apa yang harus aku lakukan. Tio bersama Sany kekasihnya, sahabatku Ricky entah kemana? Mall, bioskop ataupun perpustakaan, bukan tempat yang aku suka, apalagi mesti pergi sendirian.

mmm…Pantai.

Ya pantai. kayaknya hanya pantailah, tempat yang mampu membuat aku merasa damai dan tak aneh jika aku pergi sendirian.


Kuambil jaket, lalu kusamber kunci dan pergi menuju garasi. Kukendarai mobil mama yang nganggur di sana. Papa dan mama lagi keluar kota, jadi aku bisa keluar dan mengendari mobilnya dengan leluasa.

Terik panas masih menyengat, walaupun waktu sudah menjelang sore. Namun tak membuat manusia-manusia di Ibukota berhenti beraktivitas meskipun di bawah terik matahari yang mampu membakar kulit. Jalan-jalan macet seperti biasanya. Dipenuhi mobil dari merek ternama ataupun yang sudah tak layak dikendarai.

Lalu di depan kulihat pemandangan lain lagi. Pedagang kaki lima duduk lesu menunggu pelangannya.

Krisis yang melanda membuat banyak orang hati-hati melakukan pengeluaran, bahkan untuk membeli jajan pasar.Walaupun tak seorang yang menghampirinya, namun dia tetap semangat menyapa orang-orang yang lewat dan akhirnya ada juga satu pembeli yang menuju arahnya.

Sekilas kulihat orang itu kok mirip sekali dengan Ricky. Kugosok-gosok mataku, menyakinkan pandanganku. Kutepikan mobilku, lalu aku berhenti di tepi jalan itu. Dengan setengah berlari, aku mengejar sosok itu.

Ah…kendaraan sore ini banyak sekali, sehingga membuat aku kesulitan untuk menyeberang jalan ini. Tapi akhirnya terkejar juga, dengan nafas tersengal-sengal, kujamah bahunya.

“Ky!” seruku tiba-tiba, sehingga membuatnya terkejut.

“Anda siapa?” tanya Ricky pura-pura tak mengenalku.

“Ky. Sekalipun kamu jadi gembel , aku akan tetap menggenalmu.” jelasku mendenggus kesal.

“Sudahlah, Sophia, jangan membuat aku terluka lagi.” tukasnya begitu sinis seraya beranjak pergi.

“Ky…Ky…knapa kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku!” teriakku sekeras-kerasnya. Namun bayangan Ricky semakin menjauh dan akhirnya tak kelihatan.

-----

Ricky, Tio dan aku adalah sahabat karib dari kecil. Setelah tumbuh besar, aku tetap mengganggap Ricky adalah sahabat terbaikku, tapi Ricky punya rasa berbeda dari persahabatan kami. Yang aku cintai adalah Tio. Ini yang membuat Ricky menjauhiku. Tapi yang Tio cintai bukan aku, tapi Sany, teman sekelasnya.

Cinta, sulit di tebak kapan dan di mana berlabuh!

Banyak orang tak bisa terima, jika cintanya ditolak, tapi bukankah cinta tak mungkin dipaksa?

Tak mendapatkan cinta Tio, tak membuatku menjauh darinya, tapi aku akan tetap menjadi sahabat baiknya. Walaupun ada sedikit rasa tidak puas, kadang rasa cemburu menganggu hati kecilku, saat kutahu untuk pertama kali, orang yang Tio cintai adalah orang lain.

Aku harus bisa menerima keputusannya , walaupun terasa berat . Bukankah, kebahagian kita adalah melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia, baik bersama kita atau tidak?

Tapi tidak dengan Ricky, dia lebih memilih, meninggalkanku, mengakhiri persahabatan manis kami. Pergi dan aku tak pernah tahu kabarnya. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu berharap suatu saat kami akan dipertemukan lagi.

Karena bagiku, cinta dan persahabatan adalah dua ikatan yang sama. Ikatan yang tak satupun membuat aku bisa memilih satu diantaranya.

-----

Sudah seminggu, setiap hari, aku datang kepersimpangan ini. Berharap bisa melihat sosok Ricky lewat disekitar sini lagi. Tapi, Ricky hilang bagai ditelan bumi. Aku hampir putus asa.

Aku sudah capek menunggu, akhirnya aku bangun dan ingin beranjak pergi. Knapa tiba-tiba, indera keenamku, memberiku insting, kalau Ricky ada di sekitarku.

Kubalikan kepala, kulihat sosok Ricky setengah berlari menyeberang jalan di belakang posisiku. Aku berlari menggejar sosok itu. Kuikuti dia dari belakang. Aku pingin tahu dimana dia berada sekarang.

Akhirnya kulihat Ricky, masuk ke sebuah gang kecil, kuikuti terus , sampai akhirnya dia masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana.

“Knapa Ricky lebih memilih hidup disini, daripada di rumah megah orangtuanya?”

”Knapa dia, tinggalkan kehidupannya, yang didambakan banyak orang?”

”Knapa semua ini dia lakukan?”

“Knapa?”

Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Setelah dia masuk kurang lebih 10 menit, aku masih berdiri terpaku dalam lamunanku, dengan pertanyaan-pertanyan yang jawabanya ada pada Ricky. Aku dikejutkan suara seekor anak anjing jalanan, yang tiba-tiba menggonggong.

Aku memberanikan diri memencet bel di depan rumahnya itu.

“Siapa?” terdengar suara dari balik pintu.

Aku diam, tak memberi jawaban. Setelah beberapa saat aku lihat Ricky pelan-pelan membuka pintu. Nampak keterkejutannya saat melihatku, berada di depannya.

“Ky…boleh aku masuk?” tanyaku hati-hati.

“Maukah kamu memberikan sahabatmu ini, segelas air putih.” ujarku lagi.

Tanpa bicara, Ricky mengisyaratkan tangannya mempersilahkan aku masuk. Aku masuk keruangan tamu. Aku terpana, kulihat rumah yang tertata rapi. Rumah kecil dan sederhana ini ditatanya begitu rapi, begitu nyaman. Kulihat serangkai bunga matahari plastik terpajang di sudut ruangan itu.

“Ricky, kamu tak pernah lupa, aku adalah penggagum bunga -bunga matahari.” gumanku.

Dan sebuah akuarium yang di penuhi ikan berwarna-warni, rumput-rumput dari plastik dan karang-karang di dalamnya. Ricky tahu betul aku penggagum keindahan pantai dan laut. Walaupun hal-hal ini dulunya, setahuku, kamu tak menyukainya. Kulihat juga banyak foto persahabatan kami yang di bingkainya dalam bingkai kayu yang sangat indah, terpajang di dinding ruang tamu ini.

Bulir-bulir air mataku, perlahan-lahan mulai tak mampu aku bendung. Aku benar-benar terharu dengan semua yang Ricky lakukan. Begitu besar cinta Ricky buatku. Kupeluk dia, yang aku sendiri tak tahu, apakah pelukan ini adalah pelukkan seorang sahabat ataupun sudah berubah menjadi pelukan yang berbeda?

Ricky kaget, namun akhirnya dia membalas pelukanku, dan memelukku lebih erat lagi , seakan-akan ingin menumpahkan segala rindu yang sudah hampir tak terbendung dalam hatinya.

Kami menghabiskan sore ini dengan berbagi cerita, pengalaman kami masing-masing selama perpisahan yang hampir 2 tahun lamanya dan akhirnya Ricky mengajakku makan, ke sebuah restoran kecil yang sering dikunjunginya seorang diri, di dekat rumahnya. Terdengar alunan tembang-tembang romatis , suasana hening, membuat kami terbuai dalam hangatnya suasana malam itu.

---------

Sekarang Ricky sudah tahu, Tio sudah bersama Sany. Kami sekarang menjadi 4 sekawan. Sany juga telah menjadi anggota genk kami.

Ternyata setelah aku mengenalnya lebih lama, Sany adalah sosok yang sangat baik hati, menyenangkan, ramah dan peduli dengan sahabat. Ah…menyesal aku tak mengenalinya lebih dalam sejak dulu.

“Ky , biarlah semua berjalan apa adanya, mungkin cinta akan pelan-pelan muncul dari hatiku.” ujarku suatu hari, saat Ricky mengungkit masalah ini lagi.

“Oke, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapapun. Karena tak akan ada seorangpun yang mampu membuatku jatuh cinta . Hanya kamu yang mampu membuat aku damai, tenang dan bahagia.” jelasnya panjang lebar

Sekarang aku memiliki tiga orang sahabat baik. Tak akan ada lagi hari-hariku yang kulalui dengan kesendirian, kesepian dan kerinduan.

Hampir setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu bersama, ke pantai, ke puncak ataupun hanya sekedar berkaroke di rumah sederhana Ricky. Hidup dengan tali persahabatan yang hangat, membuat hidup semakin berarti dan lebih bahagia.

-----

Waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah berlalu. Kebaikan-kebaikan Ricky mampu membuat aku merasa butuh dan suka akan keberadaannya di sampingku. Rasa itu pelan-pelan tumbuh tanpa kusadari dalam hatiku.

Aku jatuh hati padanya setelah melalui banyak peristiwa. Cinta datang, dalam dan dengan kebersamaan.

Apalagi dengan sikap dan perbuatan yang ditunjukannya. Membuat aku merasa, tak akan ada cinta laki-laki lain yang sedalam cinta Riky.

Sekarang Ricky bukan hanya kekasih yang paling aku cintai tapi juga seorang sahabat sejati dalam hidup

Cerpen.Sahabat2

Sahabat Sejati


Ketika seorang sahabat sejati bertanya kepada sahabatnya, “apakah aku pernah melakukan salah padamu?“.
Sahabatnya akan menjawab, “ya, tapi aku sudah melupakan kesalahanmu“.

Ketika seorang sahabat sejati berbalik bertanya kepada sahabatnya, “apakah aku pernah bersalah padamu?“.
Sahabatnya akan menjawab, “ya, tapi aku sudah lupa akan hal itu“.

Ketika seorang bertanya, “Apa yang telah kau lakukan untuk sahabatmu?“
Seorang sahabat akan menjawab, “Aku tidak tahu.” sebab seorang sahabat tidak pernah meminta imbalan dari apa yang telah di perbuatnya dengan tulus.

Ketika seorang sahabat sejati memarahi sahabatnya, dan sahabatnya bertanya, “mengapa kamu memarahiku?“
Sahabatnya akan menjawab, “demi kebaikanmu“.

Ketika seseorang bertanya, “apakah alasanmu menjadi sahabatnya?“
Ia akan menjawab, “tidak tahu“. Sebab sahabat yang sejati tidak pernah memanfaatkan, tidak pernah memandang kelemahan dan kelebihan.

Ketika kau jatuh, ia akan berusaha menopangkan tangannya supaya kau tidak tergeletak.
Ketika kau bersuka, ia akan berada disisimu dan turut merasakan kebahagiaanmu.
Ketika kau berduka, ia akan berada disampingmu, meskipun ia tidak tahu bagaimana cara menghiburmu. Tetap mendengarkanmu, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutmu, meskipun kau hanya mengaduh dan meskipun ia tidak tahu bagaimana solusi masalahmu.
Ketika kau mengatakan cita – citamu, ia akan mendukung dan berdoa untukmu.
Ketika ia bersuka, kau juga akan bersuka karenanya.
Ketika ia berduka, kau yang ada di sampingnya.

Sahabat adalah memberi tanpa ada maksud di belakangnya, bukan hanya menerima.
Sahabat tidak pernah membungkus racun dengan permen manis.

Persahabatan tidak diukur oleh berapa lamanya waktu, tetapi berapa besar arti ‘persahabatan’ itu sendiri.
Persahabatan tidak diukur oleh materi, tetapi berapa besar pengorbanan.
Persahabatan tidak diukur dari kesuksesan yang di peroleh, tetapi dari berapa besar dukungan yang di berikan.

Ia dapat menyayangimu, bahkan lebih dari dirinya sendiri.

Persahabatan tidak pernah mulus. Tetapi yang membuat indah adalah ketika mereka berhasil menjalaninya bersama, meskipun harus melalui pertumpahan air mata.

Hal yang paling membuat sahabatmu sedih adalah ketika kamu, sebagai seorang sahabat, membohonginya dengan alasan apapun. Sebab ia sangat percaya padamu.

Hanya satu yang sahabatmu minta kepadamu : supaya ia menjadi bagian hidupmu. 

Cerpen.Sahabat


Sahabatku


Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.

Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan.

Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan.

“Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”

“Mungkin sakit!” jawab Mama.

“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat

Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Iamendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

“Oh, kasihan Momon,” ucapnya dalam hati,

Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.

“Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur

“Momon, Pa.”

“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Iwan menggeleng.

“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.

“Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan.

“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.

“Lalu apa rencana kamu?”

“Aku harap Papa bisa menolong Momon!”

“Maksudmu?”

“Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku!” Iwan memohon dengan agak mendesak.

“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu!” kata Papa.

Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa.

“Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”

“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”

Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri.

“Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” Tanya Papa.

“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”

“Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”

Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua.



Cerpen Persahabatan Sejati adalah cerpen cinta yang berceritakan seorang dengan sahabat sejati yang tidak di makan oleh usia jaman. seperti lagu berbunyi persahabatan seperti kepompong mulai jadi ulat akan jadi kupu kupu itu merupakan kata kata bijak persahabatan yang sangat erat dan tidak bisa di pisahkan setelah update cerpen islami

buat sobat yang pengen membaca cerpen persahabatan yang berjudulkan sahabat sejati yang di ambil dari sumber cerita-anak.blogspot.com. cerpen persahabatan ini berceritakan sahabat juga bisa seperti kedekatan tapi melebihi seorang teman dan pacar.

“Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.

“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”

“Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.

Nisa teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.

Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”

“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.

“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya untukku”.

“Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.

Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti perkiraan ibunya tadi.

“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.

“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.

“Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.

“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.

Amanda memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.

“Tidak bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”

Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.

Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.

“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.

“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.

“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum.

“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang tua mereka.

“Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.

“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu

Cerpen~Ayah.Ibu


PENYESALAN TERAKHIR


Aku tak tau kenapa hidup ku bisa seperti ini,sepi,sunyi itu yang selalu kurasakan dirumah. Wajar aja sih secara aku anak tunggal dan kedua orang tua ku sibuk bekerja,setiap hari yang ku temui dirumah hanya kedua pembantuku,supir,satpam dan tukang kebun. Oleh sebab itu aku jarang banget ada dirumah,kalau sudah larut malam aku baru pulang,bahkan terkadang aku tak pulang kerumah. Tetapi mamah dan papahku tak pernah memarahiku,bahkan tak pernah peduli di luar sana aku ngapain aja,hmm sengsara banget ya hidup aku....

Oh ya kenalin nama aku rangga aditya putra,aku duduk di kelas XI.SMA dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang ada di jakarta. Aku pengen cerita sedikit ni tentang kehidupanku yang begitu pilu kepada kalian, dan semoga cerita aku ini bisa jadi pelajaran buat kalian... :)


Semenjak orang tuaku sibuk bekerja,ia seolah-olah lupa denganku dan tak pernah peduli lagi denganku padahal aku anak satu-satunya. Hidup aku sekarang jadi tak karuan,aku sering nongkrong dengan teman-temanku hingga larut malam bahkan aku perokok,peminum dan aku juga memakan obat-obatan,pokoknya aku udah benar-benar terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Itu semua aku lakuin karena aku merasa kesepian,aku tak punya siapa-siapa selain temen sepergaulanku itu dan hati ku terasa tenang setelah aku meminum minuman keras itu . Kalau mamah dan papahku melihat aku pulang larut malam paling mereka hanya menasehatiku bahkan terkadang mereka tak peduli. Aku ngerasa seperti gak punya orang tua...

Aku punya salah satu sahabat perempuan yaitu andin. Ia sahabatku sejak kecil sehingga ia tahu betul kehidupan aku dan keluarga ku seperti apa. Ia selalu menasehatiku untuk tidak bermain bebas diluar sana tapi aku tidak pernah mendengarkan nasehatnya bahkan sekarang aku mulai menjauh dari dia. Karena bagiku orang sebaik dia tak pantas bermain denganku.
****

Hinga suatu ketika saat aku sedang dugem dan mabuk bersama teman-temanku tiba-tiba ada seseorang pria menepuk pundakku dari belakang dan membalikan badanku,ia langsung menamparku dan menarik paksa aku untuk keluar dari tempat dugem itu. ”papah apa-apan sih narik-narik aku,aku masih mau main disini pah” ucapku setengah tak sadar karena pengaruh minuman keras itu. ”kamu yang apa-apan,kamu tuh udah bikin malu papah sama mamah rangga” bentak ia kepadaku dengan penuh emosi. ”papah,mamah? Hahaha mereka kan ga pernah peduli sama aku” ucapku yang semakin ngelantur. Ia menampar ku lagi,benar-benar kencang tamparan ia saat ini hingga pipiku sangat merah dan hidungku berdarah. Aku dipaksanya masuk ke dalam mobil miliknya,didalam mobil masih saja ia memarahiku hingga terlontar kata-kata dari mulutku ”mamah sama papah aku tuh udah mati dia udah gak ada didunia ini” . pria yang mendengar perkataan ku tadi langsung memegang jantungnya,iyaa penyakit jantung yang diderita oleh papahku kambuh. Mobil yang ia kendarai tidak terkendali dan akhirnya menabrak sebuah truk yang ada dihadapan mobilnya. Kecelakaan maut itu pun tidak dapat dihindari,kedua orang tuaku yang duduk dibangku depan sangat terluka parah sedangkan aku yang duduk dibangku belakang hanya terluka sedikit. Ku lihat detak jantung papahku sudah tidak berdekup lagi,mamah ku yang terpental disebelahku langsung menggenggam tanganku dan mengatakan ”maavin mamah ya nak karena slama ini mamah gak pernah pedulii sama kamu,tapi mamah sangat sayang sama kamu,dan maavin papah kamu karena tadi sudah menamparmu. Jaga diri kamu baik-baik ya,dan slalu ingat pesan papah kamu tadi” suara itu ku dengar tidak begitu jelas dan lama-kelamaan suara itu pun tidak ku dengar lagi.....
****

Perlahan ku buka mataku,ku lihat ada perempuan cantik tertidur duduk disebelahku,ku lihat matanya sembab seperti habis menangis. ”andin” ucapku lirih. ”rangga,syukur deh akhirnya kamu sadar juga”. Ucap perempuan itu kepadaku. ”mamah?papah” ingin rasanya aku loncat dari tempat tidur rumah sakit ini setelah mengingat kejadian semalam. ”kamu yang sabar ya,kamu harus kuat menghadapi cobaan ini,biarkan kedua orang tua mu tenang disana” ucap andin sambil menangis dan memelukku. Aku hanya bisa menangis penuh sesal,kenapa dari awal aku tak mendengarkan nasehatnya.
****

Siang ini kedua orang tuaku akan dimakamkan,kelopak mata ini tak henti-hentinya menetesekan air mata. Air mataku semakin deras ketika melihat kedua orang tuaku yang tadinya aku benci dan tak pernah ku inginkan kehadirannya dimasukan ke sebuah liang lahat. ”maavin rangga mah,pah,rangga udah bikin mamah sama papah kecewa. Rangga sadar rangga belum bisa menjadi anak yang baik buat mamah sama papah dan rangga belum sempat membahagiakan kalian tapi maut sudah menjemput kalian terlebih dahulu. Rangga akan selalu ingat dengan pesan papah dam mamah dan rangga berjanji,rangga akan ubah sifat rangga. Maavin rangga” ucapku dengan tetesan air mata penuh penyesalan.....
~The End~

Itulah kisah hidup rangga yang berakhir dengan tragis. Buat kalian yang masih mempunyai kedua orang tua,sayangilah mereka dengan sepenuh hati,gimana pun orang tua kalian mereka tetap orang tuamu. Jangan nanti kau baru menyesal setelah mereka pergi untuk selama-lamanya dari kehidupkan kita. Semoga cerita ini dapat bermakna ya untuk kalian semua......



Cerpen~


Satu Kunang-kunang
Seribu Tikus

Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini–jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian–tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.

Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.

Mau ke mana kamu? Kenapa sembunyi-sembunyi seperti tikus?

Epon, yang sedang hamil besar, terpaksa kembali ke pembaringan tanpa melihat kunang-kunang.

Di akhir hayatnya Epon tak melihat kunang-kunang sungguhan, tetapi bayi mungil dalam pelukan Mak Icih, dukun yang membantu persalinannya. Bayi itu perempuan, molek, seolah punya sayap bersinar-sinar. Kunang-kunang yang cantik, gumam Epon sebelum penghabisan. Pembunuh kita setuju, meski ia tengah melihat kunang-kunang di kuburan yang lain.

DARI tempat yang jauh, kabur, dan terserpih, pembunuh berdarah dingin itu masih mengintai Cibeurit. Ia tahu Toha menamai putrinya Maimunah. Meski tak ada yang menghubung-hubungkan Maimunah dengan kunang-kunang, penduduk desa sepakat bahwa ia memang bercahaya.

Di usia tiga belas, Maimunah telah menyedot perhatian pemuda-pemuda Cibeurit. Namun banyak yang sungkan mendekatinya karena ia terlalu tinggi, setidaknya di atas tinggi rata-rata gadis-gadis desa itu. Teman-teman masa kecilnya menjulukinya si Jangkung. Para bujang merasa rendah diri bila berhadapan dengannya, khawatir diejek kontet oleh pesaing yang iri. Mereka juga khawatir membayangkan rupa Maimunah sepuluh tahun mendatang, mengingat gadis-gadis Cibeurit cenderung menggemuk setelah menikah atau melahirkan anak pertama. Setelah masa jayanya lewat, Maimunah akan menjadi perempuan tinggi besar, seperti raksasa. Bahkan sekarang pun ia sudah cukup bahenol.

Merasa tak berbeda dengan perempuan-perempuan lain, Maimunah selalu berjalan lurus dengan punggung tegap dan dada membusung. Rambut ikal panjangnya senantiasa menari-nari, seirama dengan lenggok pinggulnya. Tak pernah ia tundukkan pandangannya. Toha mulai resah karena putrinya tak takut pada apapun. Dengan cara berjalan yang kelewat menantang, bisa saja ia diperkosa para begundal sepulang mencuci di kali. Memang tak ada lelaki brengsek di desa yang aman ini. Kekacauan selalu ditimbulkan oleh mereka yang tak berumah, seperti kawanan penjahat yang berkelana dari hutan ke hutan, merampok, memperkosa perempuan lugu, lalu menghilang. Melihat basah rambut Maimunah pastilah liur mereka menetes. Jika keperawanan hilang, tamatlah riwayat seorang gadis.

Di usia tujuh belas, Maimunah mulai bosan menjadi pusat perhatian. Ia menyambut pemuja-pemujanya dengan senang hati, namun segera jemu karena mereka tak tahu apa-apa. Pun mereka tak ingin tahu apa-apa tentang kaum perempuan, kecuali isi kutang mereka. Maimunah lebih suka menghabiskan waktunya di rumah Mak Icih. Di matanya, Mak Icih memiliki pengetahuan luar biasa. Setiap hari ia bergulat dengan kaki-kaki yang membuka, gelap rahim, dan darah bergumpal-gumpal di balik kain perempuan. Perempuan hidup; perempuan sekarat. Dari si dukun Maimunah tahu rupa ibunya sebelum direnggut maut.

Kata ibumu kau cantik seperti kunang-kunang.

Di mana aku bisa melihat kunang-kunang?

Aku tak pernah melihatnya, tapi ibumu bilang kunang-kunang menari di kuburan.

Sejarah pun berulang. Seperti Epon, Maimunah pergi mencari binatang bercahaya itu. Tapi bukan kunang-kunang yang ia temukan, melainkan Jaja, kuncen kuburan. Lelaki itu jarang memperlihatkan diri karena sering diolok-olok. Ia bertubuh kerdil, hanya setinggi perut Maimunah, berkulit hitam, berkepala botak licin, dan berkumis kelewat tebal. Tangan-tangannya pendek dipenuhi bulu. Tubuhnya yang kecil bergerak lincah, mirip tikus, hingga anak-anak desa menjulukinya tikus raksasa. Raja Tikus. Orang dewasa melarang anak mereka menjelek-jelekkan orang lain, sebab itu bukan tabiat penduduk Cibeurit, namun tak ada di antara mereka yang mau berlama-lama bicara dengan si kuncen.

Di perjumpaan pertamanya dengan Maimunah, Jaja hanya mendongak sesaat, lalu kembali menggali kubur. Ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa sadar air liur menetes dari mulutnya yang selalu terbuka.

Kalau kamu menjadi mayat, kamu akan sama buruk denganku, ujar Jaja sambil menghapus ludah di sudut bibirnya.

Mungkin karena tak silau cahaya, Jaja di mata Maimunah lebih menarik daripada pemuda-pemuda Cibeurit. Daging busuk lebih memesona lelaki itu ketimbang daging segar. Bila Mak Icih memegang rahasia hidup di balik kain perempuan yang merah kotor, maka Jaja mengetahui segala yang hancur, keropos, berlalu. Ia pemegang kunci dunia mati.

Toha mulai mengendus hubungan ganjil Maimunah dengan kuburan, persis Epon semasa hidupnya. Wajahnya pucat ketika beberapa orang melaporkan keakraban Maimunah dengan si kuncen kate. Ini tak dapat dibiarkan. Sudah waktunya ia bertindak tegas demi masa depan putri tersayang. Toha menawarkan Maimunah pada Suparna, kepala desa, untuk diambil sebagai istri kedua. Lelaki empat puluhan itu punya berhektar-hektar sawah dan sebuah mobil jip. Suparna memahami kerisauan Toha, dan, selayaknya warga desa Cibeurit yang siap membantu tetangga, ia membuka tangan lebar-lebar untuk menyelamatkan harga diri Maimunah.

Sehari sebelum pernikahannya dengan Suparna, Maimunah mendatangi Jaja, menatapnya getir.

Bawa aku pergi, bisiknya.

Jaja tahu ia tak akan pernah bisa membahagiakan Maimunah, maka ia menjawab,

Aku hanya membawa pergi orang mati.

Demi ketentraman desa, gadis belia itu menikah. Ia tinggal di rumah yang cukup besar untuk menaungi dirinya dan Euis, istri pertama Suparna. Setiap minggu, Suparna menghabiskan tiga malam bersamanya, sedangkan sisanya adalah milik Euis. Semuanya baik-baik saja. Maimunah membantu Euis mengurusi ketiga anaknya sesuai tradisi guyub perempuan Cibeurit.

Saat itu pembunuh kita masih memasang mata, menyusun rencana sambil meneguk minumannya. Naluri pembunuhnya selalu melihat kebocoran pada apa-apa yang aman. Ia tersenyum mengetahui bahwa saat tidak sedang bersama Suparna, Maimunah menemui Jaja di kuburan.

Maimunah pergi di malam hari, bahkan kala ia tengah mengandung. Penduduk desa mulai mengendus hubungan gelapnya dengan si kuncen kate. Beberapa orang mengaku pernah melihat perempuan jangkung dan lelaki kerdil bergumul di semak-semak. Warga Cibeurit tak suka bergunjing, tapi perbuatan laknat harus ditindak. Kegemparan tak terhindarkan ketika Maimunah melahirkan seorang bayi lelaki. Mak Icih si dukun beranak memuji, “Kasep.”

Tapi bayi itu tidak tampan. Tubuhnya kecil berbulu, nyaris menyerupai seekor tikus. Berita hubungan Maimunah dan lelaki kerdil itu benar adanya. Jahanam! Suparna meninju tembok hingga buku-buku jarinya berdarah. Ia memberi waktu satu malam bagi istrinya, si pendosa, agar bersiap-siap hengkang dari rumahnya. Malu benar ia punya bayi serupa binatang pengerat. Anak jadah tentunya!

Keesokan harinya, seisi rumah dibangunkan oleh jeritan Euis. Perempuan itu menemukan begitu banyak tikus menyembur dari kamar suaminya, yang tidur bersama Maimunah untuk terakhir kali. Gerombolan binatang hitam dan licin melewati kakinya. Mengamuk. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin seribu. Maimunah tak ditemukannya. Hanya Suparna, tewas mengenaskan. Dagingnya tercabik-cabik, seperti habis dikerati sepanjang malam. Darah dan bulu-bulu halus menutupi borok matanya. Ia ditinggalkan dalam murka dan lapar, tak tandas. Tikus-tikus berlari tergesa. Kematian merayap perlahan.

Tikus-tikus pemangsa itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa, masuk ke dalam sumur, tempayan, dan tempat penyimpanan beras. Warga Cibeurit tak sempat berduka untuk kepala desa mereka sebab dalam waktu singkat, desa guyub tentram itu diserang penyakit sampar. Mayat membujur di setiap sudut jalan. Tak ada yang mengubur sebab Jaja tiba-tiba menghilang, seolah terhisap udara berbau amis dan genangan muntah. Desa Cibeurit dikurung aroma tikus. Aroma penyakit. Aroma mati.

Si perempuan jangkung dan kekasih kerdilnya tak pernah ditemukan. Penduduk desa percaya Maimunah telah pergi bersama Raja Tikus dan mengutuk desa itu. Mereka yang lolos dari maut sepakat memilih lupa dan mengembara seperti kawanan penyamun. Kekerabatan Cibeurit buyar sudah. Mak Icih, salah seorang yang bertahan, menceritakan kisah ini pada ibu-ibu hamil yang datang padanya. Suratan takdir membiarkannya hidup dan menjadi pemegang rahasia, meski ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan para ibu:

Siapakah yang mengirim tikus-tikus pemakan manusia itu?

MAY, pembunuh berdarah dingin kita, telah memuaskan nafsunya untuk menghancurkan. Ia menutup buku catatan kecilnya. Puas. Ceritanya tuntas sampai di sini.

Disibakkannya rambut ikal panjangnya, yang kerap menari-nari seiring lenggok pinggulnya. Matanya tertuju pada bola kristal besar di langit-langit, pada ratusan lingkaran kecil kuning kemerahan yang berputar-putar seperti rotasi planet. Seorang penulis besar, yang memilih nostalgia ketimbang pembunuhan, tentu memaknai gemerlap ini sebagai kunang-kunang yang lain.

Perempuan itu tak mengira akan mengakhiri ceritanya di sebuah kelab malam di Chinatown. Diteguknya lagi minumannya. Seperti banyak perempuan Manhattan, ia menyetiai Cosmopolitan. Vodka, cointreau, lemon, cranberry. Ia selalu melihat dirinya sebagai racikan. Gado-gado juga racikan, tapi gado-gado adalah rumah, kampung halaman, tempat merindu. Tak ada perjalanan.

Dalam perjalanan, kawanan penjahat membunuh demi meninggalkan jejak. Tak mudah bila satu kakimu tersangkut di tempat lain, mencari-cari pasangan sepatu yang terserak entah di mana. May tahu sepatunya tertinggal di desa Cibeurit, maka ia habisi desa guyub tentram itu sebelum desa itu melumatnya. Ia membunuh ruang dan ingatan dengan cinta, seperti membunuh Ayah. Di kota New York, dengan sepatu sebelah, ia bertahan seperti para penyamun. Singgahi tempat-tempat, lalu binasakan! Tempat-tempat yang jauh, kabur, dan terserpih.

Niat May meninggalkan kelab malam tertahan oleh sosok bercahaya. Kunang-kunang? Di samping mejanya duduk seorang lelaki berjubah emas dan berkumis tebal. Topi berkilauan menutupi kepala botaknya. May memicingkan mata, berupaya meyakinkan diri bahwa ia tak mabuk. Lelaki itu tak asing. Betapa pendek kaki-kakinya: menggantung, tak menyentuh lantai. May bergidik, menyadari sesuatu.

Si kuncen kate. Ia muncul di kota ini, bukan sebagai olok-olok seperti di Cibeurit, tetapi sebagai seorang raja kecil. Raja Tikus. May memperhatikan tongkat dalam genggamannya. Ada bola kristal di ujungnya, mirip lampu disko.

Jantung May berdebar. Ia mengira Cibeurit telah luluh lantah, tapi tokohnya hidup, memaksa masuk ke tempat persembunyiannya. Menemukannya. Dengan cerdas ia menyamar sebagai peramal. Meski sedikit takut, May ingin mendekatinya, hanya untuk bertanya, atau lebih tepatnya meminta, seperti ketika Maimunah berbisik pada kekasihnya,

Katakan padaku tentang masa depan.

Tapi si cebol bergeming, asyik dengan martini, tak melirik barang sedikitpun ke arahnya. May melirik kaus yang dikenakan lelaki itu. Little Johnny, demikian tulisannya. Perempuan itu terhempas.

Ia menghabiskan minumannya, menertawakan dirinya sendiri karena percaya jejak-jejak Cibeurit, tak terhapus, tiba-tiba muncul di sebuah kelab di Manhattan. Alangkah bodohnya. Ia Joni, bukan Jaja. Menelan sakit hati, entah karena merasa dungu atau karena Jaja ternyata Joni, May mengalihkan perhatiannya pada kerumunan di lantai dansa. Pengunjung bersorak-sorai ketika DJ yang mereka tunggu-tunggu naik ke atas panggung. DJ itu berkacamata, juga botak, tapi tidak kerdil. Musik berdentum-dentum seperti gaduh suara ribuan tikus yang kelaparan. Semua orang mengangkat satu lengan ke atas, memasrahkan kebahagiaan mereka di tangan piawai sang DJ.

Lelaki di sebelah May menghilang. Kini Little Johnny berada di atas panggung, di samping DJ, berdansa dengan perempuan pirang yang teramat jangkung. May menghela nafas, merasa ditampar dua kali. Lelaki kerdil, dan perempuan jangkungnya, adalah bagian dari pertunjukkan malam ini.

Mungkin si Jangkung itu kekasihnya. Entah mengapa ia cemburu, bertanya-tanya mengapa ia selalu berada di antara, terjebak ménage à trois.

Saat itu May paham bahwa ia kunang-kunang yang berputar-putar seperti lampu disko, tapi tak pernah beranjak. Sudah saatnya pergi. Ia menerobos kerumunan para pedansa, mencari pintu keluar. Dilewatinya penjaga kelab dan beberapa orang yang masih mengantre demi melihat si DJ botak. Ia ingin lari, menghambur, mempersetankan kunang-kunang, menantikan serbuan sampar yang membinasakan semua.

Tapi ia seorang pembunuh yang dihantui.

Di trotoar Chinatown yang mulai lengang, pukul satu dini hari, sesuatu menghentikan langkahnya. Bukan kunang-kunang, tapi Little Johnny, menghapus air liur di sudut bibirnya.

Si cebol yang hanya membawa pergi orang mati.

Di hadapan lelaki berkumis tebal itu, May berdiri mematung. Ia tak percaya apa yang didengarnya,

Where have all the rats gone? ***