Senin, 04 Maret 2013

Cerpen.Sahabat3


Persahabatan Terbaik


Acara televisi sore ini tak satupun membuat aku tertarik. Kalau sudah begini aku bingung entah apa yang harus aku lakukan. Tio bersama Sany kekasihnya, sahabatku Ricky entah kemana? Mall, bioskop ataupun perpustakaan, bukan tempat yang aku suka, apalagi mesti pergi sendirian.

mmm…Pantai.

Ya pantai. kayaknya hanya pantailah, tempat yang mampu membuat aku merasa damai dan tak aneh jika aku pergi sendirian.


Kuambil jaket, lalu kusamber kunci dan pergi menuju garasi. Kukendarai mobil mama yang nganggur di sana. Papa dan mama lagi keluar kota, jadi aku bisa keluar dan mengendari mobilnya dengan leluasa.

Terik panas masih menyengat, walaupun waktu sudah menjelang sore. Namun tak membuat manusia-manusia di Ibukota berhenti beraktivitas meskipun di bawah terik matahari yang mampu membakar kulit. Jalan-jalan macet seperti biasanya. Dipenuhi mobil dari merek ternama ataupun yang sudah tak layak dikendarai.

Lalu di depan kulihat pemandangan lain lagi. Pedagang kaki lima duduk lesu menunggu pelangannya.

Krisis yang melanda membuat banyak orang hati-hati melakukan pengeluaran, bahkan untuk membeli jajan pasar.Walaupun tak seorang yang menghampirinya, namun dia tetap semangat menyapa orang-orang yang lewat dan akhirnya ada juga satu pembeli yang menuju arahnya.

Sekilas kulihat orang itu kok mirip sekali dengan Ricky. Kugosok-gosok mataku, menyakinkan pandanganku. Kutepikan mobilku, lalu aku berhenti di tepi jalan itu. Dengan setengah berlari, aku mengejar sosok itu.

Ah…kendaraan sore ini banyak sekali, sehingga membuat aku kesulitan untuk menyeberang jalan ini. Tapi akhirnya terkejar juga, dengan nafas tersengal-sengal, kujamah bahunya.

“Ky!” seruku tiba-tiba, sehingga membuatnya terkejut.

“Anda siapa?” tanya Ricky pura-pura tak mengenalku.

“Ky. Sekalipun kamu jadi gembel , aku akan tetap menggenalmu.” jelasku mendenggus kesal.

“Sudahlah, Sophia, jangan membuat aku terluka lagi.” tukasnya begitu sinis seraya beranjak pergi.

“Ky…Ky…knapa kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku!” teriakku sekeras-kerasnya. Namun bayangan Ricky semakin menjauh dan akhirnya tak kelihatan.

-----

Ricky, Tio dan aku adalah sahabat karib dari kecil. Setelah tumbuh besar, aku tetap mengganggap Ricky adalah sahabat terbaikku, tapi Ricky punya rasa berbeda dari persahabatan kami. Yang aku cintai adalah Tio. Ini yang membuat Ricky menjauhiku. Tapi yang Tio cintai bukan aku, tapi Sany, teman sekelasnya.

Cinta, sulit di tebak kapan dan di mana berlabuh!

Banyak orang tak bisa terima, jika cintanya ditolak, tapi bukankah cinta tak mungkin dipaksa?

Tak mendapatkan cinta Tio, tak membuatku menjauh darinya, tapi aku akan tetap menjadi sahabat baiknya. Walaupun ada sedikit rasa tidak puas, kadang rasa cemburu menganggu hati kecilku, saat kutahu untuk pertama kali, orang yang Tio cintai adalah orang lain.

Aku harus bisa menerima keputusannya , walaupun terasa berat . Bukankah, kebahagian kita adalah melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia, baik bersama kita atau tidak?

Tapi tidak dengan Ricky, dia lebih memilih, meninggalkanku, mengakhiri persahabatan manis kami. Pergi dan aku tak pernah tahu kabarnya. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu berharap suatu saat kami akan dipertemukan lagi.

Karena bagiku, cinta dan persahabatan adalah dua ikatan yang sama. Ikatan yang tak satupun membuat aku bisa memilih satu diantaranya.

-----

Sudah seminggu, setiap hari, aku datang kepersimpangan ini. Berharap bisa melihat sosok Ricky lewat disekitar sini lagi. Tapi, Ricky hilang bagai ditelan bumi. Aku hampir putus asa.

Aku sudah capek menunggu, akhirnya aku bangun dan ingin beranjak pergi. Knapa tiba-tiba, indera keenamku, memberiku insting, kalau Ricky ada di sekitarku.

Kubalikan kepala, kulihat sosok Ricky setengah berlari menyeberang jalan di belakang posisiku. Aku berlari menggejar sosok itu. Kuikuti dia dari belakang. Aku pingin tahu dimana dia berada sekarang.

Akhirnya kulihat Ricky, masuk ke sebuah gang kecil, kuikuti terus , sampai akhirnya dia masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana.

“Knapa Ricky lebih memilih hidup disini, daripada di rumah megah orangtuanya?”

”Knapa dia, tinggalkan kehidupannya, yang didambakan banyak orang?”

”Knapa semua ini dia lakukan?”

“Knapa?”

Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Setelah dia masuk kurang lebih 10 menit, aku masih berdiri terpaku dalam lamunanku, dengan pertanyaan-pertanyan yang jawabanya ada pada Ricky. Aku dikejutkan suara seekor anak anjing jalanan, yang tiba-tiba menggonggong.

Aku memberanikan diri memencet bel di depan rumahnya itu.

“Siapa?” terdengar suara dari balik pintu.

Aku diam, tak memberi jawaban. Setelah beberapa saat aku lihat Ricky pelan-pelan membuka pintu. Nampak keterkejutannya saat melihatku, berada di depannya.

“Ky…boleh aku masuk?” tanyaku hati-hati.

“Maukah kamu memberikan sahabatmu ini, segelas air putih.” ujarku lagi.

Tanpa bicara, Ricky mengisyaratkan tangannya mempersilahkan aku masuk. Aku masuk keruangan tamu. Aku terpana, kulihat rumah yang tertata rapi. Rumah kecil dan sederhana ini ditatanya begitu rapi, begitu nyaman. Kulihat serangkai bunga matahari plastik terpajang di sudut ruangan itu.

“Ricky, kamu tak pernah lupa, aku adalah penggagum bunga -bunga matahari.” gumanku.

Dan sebuah akuarium yang di penuhi ikan berwarna-warni, rumput-rumput dari plastik dan karang-karang di dalamnya. Ricky tahu betul aku penggagum keindahan pantai dan laut. Walaupun hal-hal ini dulunya, setahuku, kamu tak menyukainya. Kulihat juga banyak foto persahabatan kami yang di bingkainya dalam bingkai kayu yang sangat indah, terpajang di dinding ruang tamu ini.

Bulir-bulir air mataku, perlahan-lahan mulai tak mampu aku bendung. Aku benar-benar terharu dengan semua yang Ricky lakukan. Begitu besar cinta Ricky buatku. Kupeluk dia, yang aku sendiri tak tahu, apakah pelukan ini adalah pelukkan seorang sahabat ataupun sudah berubah menjadi pelukan yang berbeda?

Ricky kaget, namun akhirnya dia membalas pelukanku, dan memelukku lebih erat lagi , seakan-akan ingin menumpahkan segala rindu yang sudah hampir tak terbendung dalam hatinya.

Kami menghabiskan sore ini dengan berbagi cerita, pengalaman kami masing-masing selama perpisahan yang hampir 2 tahun lamanya dan akhirnya Ricky mengajakku makan, ke sebuah restoran kecil yang sering dikunjunginya seorang diri, di dekat rumahnya. Terdengar alunan tembang-tembang romatis , suasana hening, membuat kami terbuai dalam hangatnya suasana malam itu.

---------

Sekarang Ricky sudah tahu, Tio sudah bersama Sany. Kami sekarang menjadi 4 sekawan. Sany juga telah menjadi anggota genk kami.

Ternyata setelah aku mengenalnya lebih lama, Sany adalah sosok yang sangat baik hati, menyenangkan, ramah dan peduli dengan sahabat. Ah…menyesal aku tak mengenalinya lebih dalam sejak dulu.

“Ky , biarlah semua berjalan apa adanya, mungkin cinta akan pelan-pelan muncul dari hatiku.” ujarku suatu hari, saat Ricky mengungkit masalah ini lagi.

“Oke, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapapun. Karena tak akan ada seorangpun yang mampu membuatku jatuh cinta . Hanya kamu yang mampu membuat aku damai, tenang dan bahagia.” jelasnya panjang lebar

Sekarang aku memiliki tiga orang sahabat baik. Tak akan ada lagi hari-hariku yang kulalui dengan kesendirian, kesepian dan kerinduan.

Hampir setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu bersama, ke pantai, ke puncak ataupun hanya sekedar berkaroke di rumah sederhana Ricky. Hidup dengan tali persahabatan yang hangat, membuat hidup semakin berarti dan lebih bahagia.

-----

Waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah berlalu. Kebaikan-kebaikan Ricky mampu membuat aku merasa butuh dan suka akan keberadaannya di sampingku. Rasa itu pelan-pelan tumbuh tanpa kusadari dalam hatiku.

Aku jatuh hati padanya setelah melalui banyak peristiwa. Cinta datang, dalam dan dengan kebersamaan.

Apalagi dengan sikap dan perbuatan yang ditunjukannya. Membuat aku merasa, tak akan ada cinta laki-laki lain yang sedalam cinta Riky.

Sekarang Ricky bukan hanya kekasih yang paling aku cintai tapi juga seorang sahabat sejati dalam hidup

Cerpen.Sahabat2

Sahabat Sejati


Ketika seorang sahabat sejati bertanya kepada sahabatnya, “apakah aku pernah melakukan salah padamu?“.
Sahabatnya akan menjawab, “ya, tapi aku sudah melupakan kesalahanmu“.

Ketika seorang sahabat sejati berbalik bertanya kepada sahabatnya, “apakah aku pernah bersalah padamu?“.
Sahabatnya akan menjawab, “ya, tapi aku sudah lupa akan hal itu“.

Ketika seorang bertanya, “Apa yang telah kau lakukan untuk sahabatmu?“
Seorang sahabat akan menjawab, “Aku tidak tahu.” sebab seorang sahabat tidak pernah meminta imbalan dari apa yang telah di perbuatnya dengan tulus.

Ketika seorang sahabat sejati memarahi sahabatnya, dan sahabatnya bertanya, “mengapa kamu memarahiku?“
Sahabatnya akan menjawab, “demi kebaikanmu“.

Ketika seseorang bertanya, “apakah alasanmu menjadi sahabatnya?“
Ia akan menjawab, “tidak tahu“. Sebab sahabat yang sejati tidak pernah memanfaatkan, tidak pernah memandang kelemahan dan kelebihan.

Ketika kau jatuh, ia akan berusaha menopangkan tangannya supaya kau tidak tergeletak.
Ketika kau bersuka, ia akan berada disisimu dan turut merasakan kebahagiaanmu.
Ketika kau berduka, ia akan berada disampingmu, meskipun ia tidak tahu bagaimana cara menghiburmu. Tetap mendengarkanmu, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutmu, meskipun kau hanya mengaduh dan meskipun ia tidak tahu bagaimana solusi masalahmu.
Ketika kau mengatakan cita – citamu, ia akan mendukung dan berdoa untukmu.
Ketika ia bersuka, kau juga akan bersuka karenanya.
Ketika ia berduka, kau yang ada di sampingnya.

Sahabat adalah memberi tanpa ada maksud di belakangnya, bukan hanya menerima.
Sahabat tidak pernah membungkus racun dengan permen manis.

Persahabatan tidak diukur oleh berapa lamanya waktu, tetapi berapa besar arti ‘persahabatan’ itu sendiri.
Persahabatan tidak diukur oleh materi, tetapi berapa besar pengorbanan.
Persahabatan tidak diukur dari kesuksesan yang di peroleh, tetapi dari berapa besar dukungan yang di berikan.

Ia dapat menyayangimu, bahkan lebih dari dirinya sendiri.

Persahabatan tidak pernah mulus. Tetapi yang membuat indah adalah ketika mereka berhasil menjalaninya bersama, meskipun harus melalui pertumpahan air mata.

Hal yang paling membuat sahabatmu sedih adalah ketika kamu, sebagai seorang sahabat, membohonginya dengan alasan apapun. Sebab ia sangat percaya padamu.

Hanya satu yang sahabatmu minta kepadamu : supaya ia menjadi bagian hidupmu. 

Cerpen.Sahabat


Sahabatku


Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.

Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan.

Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan.

“Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang.”

“Mungkin sakit!” jawab Mama.

“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya bersemangat

Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Iamendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.

“Oh, kasihan Momon,” ucapnya dalam hati,

Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.

“Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur

“Momon, Pa.”

“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Iwan menggeleng.

“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.

“Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan.

“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.

“Lalu apa rencana kamu?”

“Aku harap Papa bisa menolong Momon!”

“Maksudmu?”

“Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku!” Iwan memohon dengan agak mendesak.

“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu!” kata Papa.

Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa.

“Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”

“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”

Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri.

“Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” Tanya Papa.

“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”

“Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”

Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua.



Cerpen Persahabatan Sejati adalah cerpen cinta yang berceritakan seorang dengan sahabat sejati yang tidak di makan oleh usia jaman. seperti lagu berbunyi persahabatan seperti kepompong mulai jadi ulat akan jadi kupu kupu itu merupakan kata kata bijak persahabatan yang sangat erat dan tidak bisa di pisahkan setelah update cerpen islami

buat sobat yang pengen membaca cerpen persahabatan yang berjudulkan sahabat sejati yang di ambil dari sumber cerita-anak.blogspot.com. cerpen persahabatan ini berceritakan sahabat juga bisa seperti kedekatan tapi melebihi seorang teman dan pacar.

“Amanda, Amanda, tunggu aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai, Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya Amanda keheranan.

“Begini, aku mau mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada Amanda.
Amanda, melihat isi tas plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku, aku suka sepatu itu.”

“Lantas mengapa sepatu ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu untuk meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya Amanda lagi.

Nisa teringat dengan kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat masuk rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.

“Bu…Bu… lihat”, katanya sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru yang sedang dipakainya.

Ibunya menengok sekali lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong, sepatu itu pinjam dari siapa?”

“Ah Ibu, ini sepatu milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda. Dia yang memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.

“Tentu tidak dong Bu”, sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda memberikannya untukku”.

“Wah beruntung sekali kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”, kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.

Benar. Ketika ayahnya pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung menyambutnya dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti perkiraan ibunya tadi.

“Apa? Kau diberi sesuatu lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada kita”
“Tapi Pak, Amanda memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.

“Betul. Bapak tidak menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata ayah Nisa dengan sedih.

“Mereka tidak mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.

“Tapi Pak…”, Nisa mencoba menawar.
“Tidak ada tetapi, ini sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa menyerah.

Amanda memandang wajah Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya tersebut.
“Ya sudah, nggak usah sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja, tidak usah bilang ayahmu”, kata Amanda menghibur.

“Tidak bisa. Aku sudah janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu boleh mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk sahabat karibnya itu.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”

Anak-anak segera berebut keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman Pak Guru tadi.

Mereka berdua segera menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak Ahmad segera membaik.

“Terima kasih banyak, Pak Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.

“Ah tidak Pak, itu memang sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata ayah Nisa.

“Pak Arif tidak perlu memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama ini dengan ikhlas. Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu Amanda dalam belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil tersenyum.

“Sama-sama Pak, kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”, kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang tua mereka.

“Kalau begitu, boleh kan saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah Nisa tidak mampu menolaknya.

“Horeeeeeeeeee”, teriak Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu

Cerpen~Ayah.Ibu


PENYESALAN TERAKHIR


Aku tak tau kenapa hidup ku bisa seperti ini,sepi,sunyi itu yang selalu kurasakan dirumah. Wajar aja sih secara aku anak tunggal dan kedua orang tua ku sibuk bekerja,setiap hari yang ku temui dirumah hanya kedua pembantuku,supir,satpam dan tukang kebun. Oleh sebab itu aku jarang banget ada dirumah,kalau sudah larut malam aku baru pulang,bahkan terkadang aku tak pulang kerumah. Tetapi mamah dan papahku tak pernah memarahiku,bahkan tak pernah peduli di luar sana aku ngapain aja,hmm sengsara banget ya hidup aku....

Oh ya kenalin nama aku rangga aditya putra,aku duduk di kelas XI.SMA dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang ada di jakarta. Aku pengen cerita sedikit ni tentang kehidupanku yang begitu pilu kepada kalian, dan semoga cerita aku ini bisa jadi pelajaran buat kalian... :)


Semenjak orang tuaku sibuk bekerja,ia seolah-olah lupa denganku dan tak pernah peduli lagi denganku padahal aku anak satu-satunya. Hidup aku sekarang jadi tak karuan,aku sering nongkrong dengan teman-temanku hingga larut malam bahkan aku perokok,peminum dan aku juga memakan obat-obatan,pokoknya aku udah benar-benar terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Itu semua aku lakuin karena aku merasa kesepian,aku tak punya siapa-siapa selain temen sepergaulanku itu dan hati ku terasa tenang setelah aku meminum minuman keras itu . Kalau mamah dan papahku melihat aku pulang larut malam paling mereka hanya menasehatiku bahkan terkadang mereka tak peduli. Aku ngerasa seperti gak punya orang tua...

Aku punya salah satu sahabat perempuan yaitu andin. Ia sahabatku sejak kecil sehingga ia tahu betul kehidupan aku dan keluarga ku seperti apa. Ia selalu menasehatiku untuk tidak bermain bebas diluar sana tapi aku tidak pernah mendengarkan nasehatnya bahkan sekarang aku mulai menjauh dari dia. Karena bagiku orang sebaik dia tak pantas bermain denganku.
****

Hinga suatu ketika saat aku sedang dugem dan mabuk bersama teman-temanku tiba-tiba ada seseorang pria menepuk pundakku dari belakang dan membalikan badanku,ia langsung menamparku dan menarik paksa aku untuk keluar dari tempat dugem itu. ”papah apa-apan sih narik-narik aku,aku masih mau main disini pah” ucapku setengah tak sadar karena pengaruh minuman keras itu. ”kamu yang apa-apan,kamu tuh udah bikin malu papah sama mamah rangga” bentak ia kepadaku dengan penuh emosi. ”papah,mamah? Hahaha mereka kan ga pernah peduli sama aku” ucapku yang semakin ngelantur. Ia menampar ku lagi,benar-benar kencang tamparan ia saat ini hingga pipiku sangat merah dan hidungku berdarah. Aku dipaksanya masuk ke dalam mobil miliknya,didalam mobil masih saja ia memarahiku hingga terlontar kata-kata dari mulutku ”mamah sama papah aku tuh udah mati dia udah gak ada didunia ini” . pria yang mendengar perkataan ku tadi langsung memegang jantungnya,iyaa penyakit jantung yang diderita oleh papahku kambuh. Mobil yang ia kendarai tidak terkendali dan akhirnya menabrak sebuah truk yang ada dihadapan mobilnya. Kecelakaan maut itu pun tidak dapat dihindari,kedua orang tuaku yang duduk dibangku depan sangat terluka parah sedangkan aku yang duduk dibangku belakang hanya terluka sedikit. Ku lihat detak jantung papahku sudah tidak berdekup lagi,mamah ku yang terpental disebelahku langsung menggenggam tanganku dan mengatakan ”maavin mamah ya nak karena slama ini mamah gak pernah pedulii sama kamu,tapi mamah sangat sayang sama kamu,dan maavin papah kamu karena tadi sudah menamparmu. Jaga diri kamu baik-baik ya,dan slalu ingat pesan papah kamu tadi” suara itu ku dengar tidak begitu jelas dan lama-kelamaan suara itu pun tidak ku dengar lagi.....
****

Perlahan ku buka mataku,ku lihat ada perempuan cantik tertidur duduk disebelahku,ku lihat matanya sembab seperti habis menangis. ”andin” ucapku lirih. ”rangga,syukur deh akhirnya kamu sadar juga”. Ucap perempuan itu kepadaku. ”mamah?papah” ingin rasanya aku loncat dari tempat tidur rumah sakit ini setelah mengingat kejadian semalam. ”kamu yang sabar ya,kamu harus kuat menghadapi cobaan ini,biarkan kedua orang tua mu tenang disana” ucap andin sambil menangis dan memelukku. Aku hanya bisa menangis penuh sesal,kenapa dari awal aku tak mendengarkan nasehatnya.
****

Siang ini kedua orang tuaku akan dimakamkan,kelopak mata ini tak henti-hentinya menetesekan air mata. Air mataku semakin deras ketika melihat kedua orang tuaku yang tadinya aku benci dan tak pernah ku inginkan kehadirannya dimasukan ke sebuah liang lahat. ”maavin rangga mah,pah,rangga udah bikin mamah sama papah kecewa. Rangga sadar rangga belum bisa menjadi anak yang baik buat mamah sama papah dan rangga belum sempat membahagiakan kalian tapi maut sudah menjemput kalian terlebih dahulu. Rangga akan selalu ingat dengan pesan papah dam mamah dan rangga berjanji,rangga akan ubah sifat rangga. Maavin rangga” ucapku dengan tetesan air mata penuh penyesalan.....
~The End~

Itulah kisah hidup rangga yang berakhir dengan tragis. Buat kalian yang masih mempunyai kedua orang tua,sayangilah mereka dengan sepenuh hati,gimana pun orang tua kalian mereka tetap orang tuamu. Jangan nanti kau baru menyesal setelah mereka pergi untuk selama-lamanya dari kehidupkan kita. Semoga cerita ini dapat bermakna ya untuk kalian semua......



Cerpen~


Satu Kunang-kunang
Seribu Tikus

Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini–jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian–tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.

Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.

Mau ke mana kamu? Kenapa sembunyi-sembunyi seperti tikus?

Epon, yang sedang hamil besar, terpaksa kembali ke pembaringan tanpa melihat kunang-kunang.

Di akhir hayatnya Epon tak melihat kunang-kunang sungguhan, tetapi bayi mungil dalam pelukan Mak Icih, dukun yang membantu persalinannya. Bayi itu perempuan, molek, seolah punya sayap bersinar-sinar. Kunang-kunang yang cantik, gumam Epon sebelum penghabisan. Pembunuh kita setuju, meski ia tengah melihat kunang-kunang di kuburan yang lain.

DARI tempat yang jauh, kabur, dan terserpih, pembunuh berdarah dingin itu masih mengintai Cibeurit. Ia tahu Toha menamai putrinya Maimunah. Meski tak ada yang menghubung-hubungkan Maimunah dengan kunang-kunang, penduduk desa sepakat bahwa ia memang bercahaya.

Di usia tiga belas, Maimunah telah menyedot perhatian pemuda-pemuda Cibeurit. Namun banyak yang sungkan mendekatinya karena ia terlalu tinggi, setidaknya di atas tinggi rata-rata gadis-gadis desa itu. Teman-teman masa kecilnya menjulukinya si Jangkung. Para bujang merasa rendah diri bila berhadapan dengannya, khawatir diejek kontet oleh pesaing yang iri. Mereka juga khawatir membayangkan rupa Maimunah sepuluh tahun mendatang, mengingat gadis-gadis Cibeurit cenderung menggemuk setelah menikah atau melahirkan anak pertama. Setelah masa jayanya lewat, Maimunah akan menjadi perempuan tinggi besar, seperti raksasa. Bahkan sekarang pun ia sudah cukup bahenol.

Merasa tak berbeda dengan perempuan-perempuan lain, Maimunah selalu berjalan lurus dengan punggung tegap dan dada membusung. Rambut ikal panjangnya senantiasa menari-nari, seirama dengan lenggok pinggulnya. Tak pernah ia tundukkan pandangannya. Toha mulai resah karena putrinya tak takut pada apapun. Dengan cara berjalan yang kelewat menantang, bisa saja ia diperkosa para begundal sepulang mencuci di kali. Memang tak ada lelaki brengsek di desa yang aman ini. Kekacauan selalu ditimbulkan oleh mereka yang tak berumah, seperti kawanan penjahat yang berkelana dari hutan ke hutan, merampok, memperkosa perempuan lugu, lalu menghilang. Melihat basah rambut Maimunah pastilah liur mereka menetes. Jika keperawanan hilang, tamatlah riwayat seorang gadis.

Di usia tujuh belas, Maimunah mulai bosan menjadi pusat perhatian. Ia menyambut pemuja-pemujanya dengan senang hati, namun segera jemu karena mereka tak tahu apa-apa. Pun mereka tak ingin tahu apa-apa tentang kaum perempuan, kecuali isi kutang mereka. Maimunah lebih suka menghabiskan waktunya di rumah Mak Icih. Di matanya, Mak Icih memiliki pengetahuan luar biasa. Setiap hari ia bergulat dengan kaki-kaki yang membuka, gelap rahim, dan darah bergumpal-gumpal di balik kain perempuan. Perempuan hidup; perempuan sekarat. Dari si dukun Maimunah tahu rupa ibunya sebelum direnggut maut.

Kata ibumu kau cantik seperti kunang-kunang.

Di mana aku bisa melihat kunang-kunang?

Aku tak pernah melihatnya, tapi ibumu bilang kunang-kunang menari di kuburan.

Sejarah pun berulang. Seperti Epon, Maimunah pergi mencari binatang bercahaya itu. Tapi bukan kunang-kunang yang ia temukan, melainkan Jaja, kuncen kuburan. Lelaki itu jarang memperlihatkan diri karena sering diolok-olok. Ia bertubuh kerdil, hanya setinggi perut Maimunah, berkulit hitam, berkepala botak licin, dan berkumis kelewat tebal. Tangan-tangannya pendek dipenuhi bulu. Tubuhnya yang kecil bergerak lincah, mirip tikus, hingga anak-anak desa menjulukinya tikus raksasa. Raja Tikus. Orang dewasa melarang anak mereka menjelek-jelekkan orang lain, sebab itu bukan tabiat penduduk Cibeurit, namun tak ada di antara mereka yang mau berlama-lama bicara dengan si kuncen.

Di perjumpaan pertamanya dengan Maimunah, Jaja hanya mendongak sesaat, lalu kembali menggali kubur. Ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa sadar air liur menetes dari mulutnya yang selalu terbuka.

Kalau kamu menjadi mayat, kamu akan sama buruk denganku, ujar Jaja sambil menghapus ludah di sudut bibirnya.

Mungkin karena tak silau cahaya, Jaja di mata Maimunah lebih menarik daripada pemuda-pemuda Cibeurit. Daging busuk lebih memesona lelaki itu ketimbang daging segar. Bila Mak Icih memegang rahasia hidup di balik kain perempuan yang merah kotor, maka Jaja mengetahui segala yang hancur, keropos, berlalu. Ia pemegang kunci dunia mati.

Toha mulai mengendus hubungan ganjil Maimunah dengan kuburan, persis Epon semasa hidupnya. Wajahnya pucat ketika beberapa orang melaporkan keakraban Maimunah dengan si kuncen kate. Ini tak dapat dibiarkan. Sudah waktunya ia bertindak tegas demi masa depan putri tersayang. Toha menawarkan Maimunah pada Suparna, kepala desa, untuk diambil sebagai istri kedua. Lelaki empat puluhan itu punya berhektar-hektar sawah dan sebuah mobil jip. Suparna memahami kerisauan Toha, dan, selayaknya warga desa Cibeurit yang siap membantu tetangga, ia membuka tangan lebar-lebar untuk menyelamatkan harga diri Maimunah.

Sehari sebelum pernikahannya dengan Suparna, Maimunah mendatangi Jaja, menatapnya getir.

Bawa aku pergi, bisiknya.

Jaja tahu ia tak akan pernah bisa membahagiakan Maimunah, maka ia menjawab,

Aku hanya membawa pergi orang mati.

Demi ketentraman desa, gadis belia itu menikah. Ia tinggal di rumah yang cukup besar untuk menaungi dirinya dan Euis, istri pertama Suparna. Setiap minggu, Suparna menghabiskan tiga malam bersamanya, sedangkan sisanya adalah milik Euis. Semuanya baik-baik saja. Maimunah membantu Euis mengurusi ketiga anaknya sesuai tradisi guyub perempuan Cibeurit.

Saat itu pembunuh kita masih memasang mata, menyusun rencana sambil meneguk minumannya. Naluri pembunuhnya selalu melihat kebocoran pada apa-apa yang aman. Ia tersenyum mengetahui bahwa saat tidak sedang bersama Suparna, Maimunah menemui Jaja di kuburan.

Maimunah pergi di malam hari, bahkan kala ia tengah mengandung. Penduduk desa mulai mengendus hubungan gelapnya dengan si kuncen kate. Beberapa orang mengaku pernah melihat perempuan jangkung dan lelaki kerdil bergumul di semak-semak. Warga Cibeurit tak suka bergunjing, tapi perbuatan laknat harus ditindak. Kegemparan tak terhindarkan ketika Maimunah melahirkan seorang bayi lelaki. Mak Icih si dukun beranak memuji, “Kasep.”

Tapi bayi itu tidak tampan. Tubuhnya kecil berbulu, nyaris menyerupai seekor tikus. Berita hubungan Maimunah dan lelaki kerdil itu benar adanya. Jahanam! Suparna meninju tembok hingga buku-buku jarinya berdarah. Ia memberi waktu satu malam bagi istrinya, si pendosa, agar bersiap-siap hengkang dari rumahnya. Malu benar ia punya bayi serupa binatang pengerat. Anak jadah tentunya!

Keesokan harinya, seisi rumah dibangunkan oleh jeritan Euis. Perempuan itu menemukan begitu banyak tikus menyembur dari kamar suaminya, yang tidur bersama Maimunah untuk terakhir kali. Gerombolan binatang hitam dan licin melewati kakinya. Mengamuk. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin seribu. Maimunah tak ditemukannya. Hanya Suparna, tewas mengenaskan. Dagingnya tercabik-cabik, seperti habis dikerati sepanjang malam. Darah dan bulu-bulu halus menutupi borok matanya. Ia ditinggalkan dalam murka dan lapar, tak tandas. Tikus-tikus berlari tergesa. Kematian merayap perlahan.

Tikus-tikus pemangsa itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa, masuk ke dalam sumur, tempayan, dan tempat penyimpanan beras. Warga Cibeurit tak sempat berduka untuk kepala desa mereka sebab dalam waktu singkat, desa guyub tentram itu diserang penyakit sampar. Mayat membujur di setiap sudut jalan. Tak ada yang mengubur sebab Jaja tiba-tiba menghilang, seolah terhisap udara berbau amis dan genangan muntah. Desa Cibeurit dikurung aroma tikus. Aroma penyakit. Aroma mati.

Si perempuan jangkung dan kekasih kerdilnya tak pernah ditemukan. Penduduk desa percaya Maimunah telah pergi bersama Raja Tikus dan mengutuk desa itu. Mereka yang lolos dari maut sepakat memilih lupa dan mengembara seperti kawanan penyamun. Kekerabatan Cibeurit buyar sudah. Mak Icih, salah seorang yang bertahan, menceritakan kisah ini pada ibu-ibu hamil yang datang padanya. Suratan takdir membiarkannya hidup dan menjadi pemegang rahasia, meski ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan para ibu:

Siapakah yang mengirim tikus-tikus pemakan manusia itu?

MAY, pembunuh berdarah dingin kita, telah memuaskan nafsunya untuk menghancurkan. Ia menutup buku catatan kecilnya. Puas. Ceritanya tuntas sampai di sini.

Disibakkannya rambut ikal panjangnya, yang kerap menari-nari seiring lenggok pinggulnya. Matanya tertuju pada bola kristal besar di langit-langit, pada ratusan lingkaran kecil kuning kemerahan yang berputar-putar seperti rotasi planet. Seorang penulis besar, yang memilih nostalgia ketimbang pembunuhan, tentu memaknai gemerlap ini sebagai kunang-kunang yang lain.

Perempuan itu tak mengira akan mengakhiri ceritanya di sebuah kelab malam di Chinatown. Diteguknya lagi minumannya. Seperti banyak perempuan Manhattan, ia menyetiai Cosmopolitan. Vodka, cointreau, lemon, cranberry. Ia selalu melihat dirinya sebagai racikan. Gado-gado juga racikan, tapi gado-gado adalah rumah, kampung halaman, tempat merindu. Tak ada perjalanan.

Dalam perjalanan, kawanan penjahat membunuh demi meninggalkan jejak. Tak mudah bila satu kakimu tersangkut di tempat lain, mencari-cari pasangan sepatu yang terserak entah di mana. May tahu sepatunya tertinggal di desa Cibeurit, maka ia habisi desa guyub tentram itu sebelum desa itu melumatnya. Ia membunuh ruang dan ingatan dengan cinta, seperti membunuh Ayah. Di kota New York, dengan sepatu sebelah, ia bertahan seperti para penyamun. Singgahi tempat-tempat, lalu binasakan! Tempat-tempat yang jauh, kabur, dan terserpih.

Niat May meninggalkan kelab malam tertahan oleh sosok bercahaya. Kunang-kunang? Di samping mejanya duduk seorang lelaki berjubah emas dan berkumis tebal. Topi berkilauan menutupi kepala botaknya. May memicingkan mata, berupaya meyakinkan diri bahwa ia tak mabuk. Lelaki itu tak asing. Betapa pendek kaki-kakinya: menggantung, tak menyentuh lantai. May bergidik, menyadari sesuatu.

Si kuncen kate. Ia muncul di kota ini, bukan sebagai olok-olok seperti di Cibeurit, tetapi sebagai seorang raja kecil. Raja Tikus. May memperhatikan tongkat dalam genggamannya. Ada bola kristal di ujungnya, mirip lampu disko.

Jantung May berdebar. Ia mengira Cibeurit telah luluh lantah, tapi tokohnya hidup, memaksa masuk ke tempat persembunyiannya. Menemukannya. Dengan cerdas ia menyamar sebagai peramal. Meski sedikit takut, May ingin mendekatinya, hanya untuk bertanya, atau lebih tepatnya meminta, seperti ketika Maimunah berbisik pada kekasihnya,

Katakan padaku tentang masa depan.

Tapi si cebol bergeming, asyik dengan martini, tak melirik barang sedikitpun ke arahnya. May melirik kaus yang dikenakan lelaki itu. Little Johnny, demikian tulisannya. Perempuan itu terhempas.

Ia menghabiskan minumannya, menertawakan dirinya sendiri karena percaya jejak-jejak Cibeurit, tak terhapus, tiba-tiba muncul di sebuah kelab di Manhattan. Alangkah bodohnya. Ia Joni, bukan Jaja. Menelan sakit hati, entah karena merasa dungu atau karena Jaja ternyata Joni, May mengalihkan perhatiannya pada kerumunan di lantai dansa. Pengunjung bersorak-sorai ketika DJ yang mereka tunggu-tunggu naik ke atas panggung. DJ itu berkacamata, juga botak, tapi tidak kerdil. Musik berdentum-dentum seperti gaduh suara ribuan tikus yang kelaparan. Semua orang mengangkat satu lengan ke atas, memasrahkan kebahagiaan mereka di tangan piawai sang DJ.

Lelaki di sebelah May menghilang. Kini Little Johnny berada di atas panggung, di samping DJ, berdansa dengan perempuan pirang yang teramat jangkung. May menghela nafas, merasa ditampar dua kali. Lelaki kerdil, dan perempuan jangkungnya, adalah bagian dari pertunjukkan malam ini.

Mungkin si Jangkung itu kekasihnya. Entah mengapa ia cemburu, bertanya-tanya mengapa ia selalu berada di antara, terjebak ménage à trois.

Saat itu May paham bahwa ia kunang-kunang yang berputar-putar seperti lampu disko, tapi tak pernah beranjak. Sudah saatnya pergi. Ia menerobos kerumunan para pedansa, mencari pintu keluar. Dilewatinya penjaga kelab dan beberapa orang yang masih mengantre demi melihat si DJ botak. Ia ingin lari, menghambur, mempersetankan kunang-kunang, menantikan serbuan sampar yang membinasakan semua.

Tapi ia seorang pembunuh yang dihantui.

Di trotoar Chinatown yang mulai lengang, pukul satu dini hari, sesuatu menghentikan langkahnya. Bukan kunang-kunang, tapi Little Johnny, menghapus air liur di sudut bibirnya.

Si cebol yang hanya membawa pergi orang mati.

Di hadapan lelaki berkumis tebal itu, May berdiri mematung. Ia tak percaya apa yang didengarnya,

Where have all the rats gone? ***




Senin, 25 Februari 2013


Dirawat Hantu ?

Dering jam beker yang terletak di atas meja kamar tidurku berdering. Tanda peringatan bahwa suamiku harus minum obat yang telah diresepkan dokter padanya. Aku selalu tertib merawat suamiku yang berbaring terkena penyakit asma. “Pak, bangun dulu Pak!, obatnya saatnya diminum” pintaku pada suamiku. Aku menjadi kaget, ternyata suamiku tidak sadarkan diri. Jam dua malam itu aku segera membangunkan kedua anakku. “Mas Anto, Dik Ani…. bangun dulu nak, bapak perlu bantuanmu!” . Kedua ankku terus bangun
“Ada apa Ma?” tanya keduanya
“Telponkan petugas ambulance Rumah Sakit Daerah Ponorogo ya!, bapak butuh pertolongan segera”
“Iya Ma” jawab anakku singkat
Aneh!, hanya berselang kurang lebih lima menit mobil yang aku butuhkan itu sudah tiba di depan rumahku. Padahal jarak antara Pulung desaku, dengan RSUD Dr. Hardjono ada kurang lebih dua puluh kilo lebih. Aku terdiam sedikit tercengang. Tapi mau bagaimana lagi, aku disambut dengan ramah oleh dua orang suster dan seorang sopir yang masih muda.
“Mari Bu, silahkan dampingi Bapak di belakang. Infusnya sudah saya pasang. Ibu akan ditemani dua orang suster di belakang”
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, terasa aku melihat yang wajar melihat pemandangan di sepanjang jalan Pulung Ponorogo. Dua orang suster yang menemani aku tercium parfum yang harum sekali. Wajahnya cantik jelita. Rambutnya semampai panjang. “Wah, seandainya dia masih bujang bakal aku jodohkan dengan Anto anakku..” batinku, tapi aku nggak berani mengungkapkan kata-kata padanya.
Tidak beberapa lama aku sudah sampai di ruang UGD. Disana saya segera mengurus administrasi di loket rawat inap. Dua orang suster dan sopirnya mengantar aku di sebuah ruangan yang masih asing bagiku. Kira-kira dari UGD ke arah bagiun timur. Aku melewati lorong-lorong yang ramai. Aku melihat banyak pasien-pasien yang ditunggui oleh kerabatnya. Suamiku segera masuk di ruang yang saya lihat bangunan lama atau bangunan kuno.Sepertinya bangunan rumah sakit peninggalan Belanda. Aku melihat kok ada beberapa dokter berwajah bule di sana. Terus ada beberapa pasukan tentara Belanda yang keluar masuk bangsal. Aku terdiam. Aku cubit kakiku… jangan-jangan aku bukan manusia lagi. Aku terdiam seribu bahasa.
“Bu, silakan masuk , suami ibu sudah berada di kamar Anggrek, dan tas ibu sudah kami simpan di lemari”
“ooh…oh…iya suster” aku terkejut dan terheran-heran….”Padahal tas saya tadi aku cangking, lho kok sudah mereka bawa ya?”
Dalam suasana keheranan yang sangat luar biasa, aku segera memasuki kamar, tempat suamiku dirawat. Aku merasakan kamar yang ditempati suamiku terlihat luas dan bersih. perawat-perawatnya silih berganti berdatangan memberikan perawatan. “Ibu dari Pulung ya?” tanya dokter bule kepada saya. “Ya Dok…” “Suami ibu tidak apa-apa kok. Dan nanti perlu dirawat tiga hari saja kok. Untuk itu saya minta ibu dan keluarga tidak usah keluar dari ruangan ini. Ibu akan dilayani oleh suster semuanya. Makanan dan minuman sudah tinggal ambil, cukup untuk hidup tiga hari…”
Selama tiga hari, kami dimanjakan dengan pelayanan yang sangat istimewa. Suamiku nampak semakin sehat. Demikian juga anak-anakku mereka nampak santai tanpa terlihat beban dari raut wajahnya. “Bu, sudah saatnya ibu bisa pulang. Ini surat rujukan dari dokter, silakan diurus di ruang administrasi” pinta suster jelita yang selama ini merawat suamiku, dan melayani semua kebutuhanku di rumah sakit Dr. Hardjono
“Anto, pergilah ke kantor administrasi di depan sana ya?, habis berapa biaya perawatannya”
“Iya Ma”
Sesampai di depan anakku tekaget-kaget. Semua loket untuk pembayaran administrasi nampak kosong semuanya. Demikian juga, ternyata rumah sakit tersebut sudah tidak ada penghuninya sedikitpun. Di sana ada tulisan ‘ Rumah Sakit Dr. Hardjono sudah pindah sejak September 2012 di Paju Ponorogo, semua layanan Kesehatan dipindahkan di sana!’
Bulu kudukku merinding. Aku dan keluargaku tercengang. Kamar yang tadinya luas dan indah, lengkap dengan fasilitas yang menakjubkan, kini terlihat nyata lengang, kumuh, penuh sarang laba-laba, tidak terawat, dan tanpa perawat.
“Lho ibu dari mana ini?” tanya satpam tiba-tiba
“A…aa..anu Pak, saya rawat inap di Ruang Anggrek!”
Satpam juga tercengang setengah mati. Bulu kuduknya merinding, mulutnya seakan terkunci rapat sulit mengucapkan kata-kata… Aku dan keluarga bergegas, malu. Tapi aku bersyukur karena suamiku terlihat sehat wal afiat. “Ma!, terus siapa ya yang merawat kita tadi?”. “Ah nggak tahu Pa… sudahlah, kita pulang dulu” kataku sambil meninggalkan RSUD Dr Hardjono yang lama.

Cerpen - Misteri


 Gadis Penghuni rumah tua

Masih dengan senyum yang sama, baju merah yang sama dan posisi duduk di atas balkon rumah itu. Rambut panjangnya ia biarkan terurai yang sesekali terkibas angin sore itu. Aku menundukkan kepalaku sambil menyapa “Sore mba…”, Ia hanya tersenyuum sambil menatapku, tapi yang slalu bikin haran, pandangan mata itu selalu kosong. “ Aneh..” Pikirku.

Seperti Sore Ini, Aku pulang agak cepat dari sekolah. Dari kejauhan kulihat tubuh kecilnya duduk dibalkon rumah itu. Memandang jauh seolah ia sedang menerawang jauh, semakin dekat kulihat sesekali bibirnya bergumam, entah apa yang dia katakana. “Sore Mba…”. Kataku membuyarkan lamunannya, ia menoleh ke arahku sedikit kaget lalu tersenyum menganggukan kepala. Selalu tanpa suara “ Bisu kali yah…”, Pikirku. “He..He.., Sorry mba… abis nggak pernah mau jawab sih”, Bathinku.


“Mari mba…”, Kataku lagi, Ia mengangguk lagi. “Ih..bosen tau ngagguk-ngangguk mulu, ngomong ke” bathinku lagi seraya pergi menjauh.

“Vin, Sini deh” kataku pada adikku sesampai dirumah. “apa sih kak, ganggu aja. Lagi nonton nih!!!” meski ngomel tak urung juga ia menghampiriku dan duduk di dekatku. “Ada apa sih kak, kok malah bengong”, katanya lagi. “Ehm... Vin, beberapa hari ini aku sering lihat ada gadis dirumah ujung jalan sana, cantik banget lho!!!” kataku tanpa menoleh kepadanya. “Rumah ujang jalan…… rumah tua itu kak?”, ia Sedikit heran. “Iya… kamu juga pernah liat kan??” kataku meyakinkan hati. Ia menggelengkan kepala. “Yang bener kak , Setau aku sejak setahun kita pindah ke sini, itu rumah kan nggak ada yang nempatin??”, Ia Semakin keherenan. “Penduduk baru kali tuh” , Kataku. “bisa jadi tuh kak, tapi aku belum pernah lihat sih, emang kakak lihatnya kapan?”, Kata adikku sedikit mengerutkan dahinya. “Setiap kakak pulang kuliah, Ida pasti ada diatas balkon rumah itu dan slalu senyum sama kakak, Cuma herannya dia sama sekali nggak pernah ngejawab setiap kakak nyapa dia, Cuma senyum doang … bisu kali yah!!!” kataku panjang lebar . ”ah kakak ada-ada aja, malu kali kak, biasanya cewek kan suka malu-malu kak!!!” kata adikku seolah membela kaumnya. “ Iya Kali, udah ah…kakak mandi dulu deh” kataku seraya pergi. “ Ya Udah sana, bau tau…” adikku menggoda dengan menutup hidungnya.

Seminggu sudah aku melihat gadis manis dirumah ujung jalan itu, ada keinginan untuk lebih mengenalnya lebih jauh, aku yakinkan hati ku sore ini aku harus tau namanya dan ngobrol sama dia. Bergegas aku pulang. Ingin cepat-cepat sampe dirumah itu, benar saja ia duduk di balkon rumah itu, masih dengan pandangan menerawang. “Sore mba…” ia menoleh kepadaku, seolah sudah menunggu dari tadi wajahnya berubah cerah. Ia mengangguk. “Boleh saya masuk mba…???” tapi tak urung juga ia terlihat keheranan. “Makasih…” aku melangkahkan kakiku seraya membuka pintu pagar, tiba-tiba ada angin berhembus menerpa mukaku dan wewangian bunga tercium, bau bunga itu sedikit aneh, membuat bulu kudukku langsung berdiri “ ahh….. rumah ini kan sudah sedikit tua, Pasti baunya juga agak aneh”, Pikirku. Ia keluar dari dalam rumah, dengan wajah murung dan pandangan hampanya. “ Ni Cewe aneh, Bikin penasaran” bathinku. Ia tersenyum dengan tangan mempersilah kan duduk. Kulihat ia duduk tanpa mau menatapku, Aku memberanikan diri memulai percakapan. “Kenalin mba ,Saya Rafli” kataku sambil menyodorkan tangan, Ia Hanya tersenyum tanpa mau membalas jabatan tanganku, ia mengucapkan sebuah kata. ”Saras….”.sambil menarik kembali tangan ku, aku bertanya “Mba… Penghuni baru ya?” Ia Menggelengkan kepala. “aneh…”, Pikirku. “Kok Sepi , Yang lain pada kemana ???” Ia Hanya tersenyum tanpa mau menjawab juga. “Ah… jadi bosen, dia hanya senyum dan senyum” Pikirku. “Mungkin saya ngeganggu ya, Kalo Gitu saya pamit deh” kataku sambil berdiri. Ia mengangguk lagi. “wahh…. Ni Cewe Aneh”, Pikirku. Aku melangkahkan kaki keluar rumah, tiba-tiba angin berhembus membawa aroma wewangian bunga itu kembali menusuk hidung. “Suasana disini semakin seram!!!” Bathinku Sambil Bergegas keluar meninggalkan rumah itu.

Sudah tiga hari tak terlihat gadis itu. “ Kemana Dia, Biasanya kan dia duduk di balkon rumah nya?” pikirku keheranan. Esok harinya, masih dalam rasa penasaran dengan keberadaan gadis itu, ku percepat laju motorku agar cepat sampai rumah gadis itu. “ kali Aja dia sekarang ada!!!” pikirku. Sesampainya disana Suana Rumah itu semakin menyeramkan, Kali ini terlihat kotor sekali. Aku diam didepan pagar sambil duduk di jok motorku sampai seorang satpam mendatangiku dan berkata “Ada yang bisa saya bantu mas???” Kata satpam itu. Aku sedikit tersentak… Karna kaget, Reflex Aku Loncat dari motor. “Oh..enggak pak, saya Cuma heran…, bapak tau seorang gadis yang tinggal dirumah ini?, Namanya Saras…” Kataku. Bapak satpam Itu sedikit kaget ketika aku menyebut nama saras. “Saras…?” Ia Terlihat Ketakutan. “Kita Ngobrol di Pos aja mas” Katanya. Aku Mengikutinya Sambil Menuntun Motor Ku.

“Dua tahun lalu terjadi musibah yg sangat mengejutkan warga komplek sini” Ia membuka percakapan dengan sedikit takut. “ Bagaimana tidak, seluruh keluarga pak harun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, Pak Harun dan istrinya meninggal beserta anak semata wayangnya , namanya saras” Sontak Helm yang ada dipangkuan ku terjatuh mendengar cerita bapak itu. “ saras…. Apa itu saras yang sama” Pikirku dengan gemetaran. “Sejak Kejadian Itu rumah itu kosong tak berpenghuni, pernah ada keluarganya hendak menjual rumah itu tapi sampai sekarang tak pernah laku. Takut kai orang-orang, soalnya saya pernah dengar beberapa kali ada gadis berbaju merah terlihat di balkon, seperti yang mas lihat!!!” Kali Ini Ia Bicara Sedikit pelan dan tengak-tengok, seolah takut didengar orang. “sebaiknya Mas pulang saja, Jangan lagi tengak-tengok ke atas balkon rumah itu” katanya lagi sambil berdiri “ Saya pulang dulu mas, itu pengganti saya sudah datang!!!” Katanya sambil Pergi.

Badan ku Terasa Lemas, Sulit Sekali untuk sampai dirumah. Sesampai dirumah, kulihat pandangan heran adikku, Ia menghampiriku yang masih duduk di jok motor. “Kenapa kak…. Kok lemes. Pucet lagi?“, Aku Hanya Terdiam. “Kak, jangan Bikin Penasaran dong, ada apa sih… atau kakak kesambet ya???” Katanya Lagi dan Mulai Ketakutan. Kupandangi wajahnya Sambil berkata. “Ternyata gadis…. Gadis dirumah ujung jalan itu….” Aku tak melanjutkan kata-kata ku. “Apasih kak, Kenapa dengan gadis itu, dia Nolak kakak?” Ia semakin heran. Sambil berjalan dari motorku, Aku Menjawab. “dia…….Dia sudah meninnggal dua tahun yang lalu…..” Aku Semakin Lemas . “Apa…?ya Allah… jadi… jadi dia………….” Kini Vina yang terduduk lemas, “Aku semakin tak mengerti kenapa ia memperlihatkan wujudnya padakau, apa karna aku warga baru Komplek ini sehingga aku tak pernah tahu cerita ini, atau karna Dia suka padaku, Ih amit-amit!!!” Aku Menerawang menerka nerka Tak Mau tahu.

Senin, 18 Februari 2013

Dongeng Sebelum Tidur


“Tukang cukur yang cerdik”


Pada suatu hari ada salah seorang dari empat ulama besar yang sedang bertutur tentang dirinya, beliau adalah Imam Abu Hanafi. Kemudian beliau mulailah bercerita.
“Ketika saya sedang melaksanakan ibadah Haji kemarin, tampa sadar saya telah melakukan lima kesalahan. Namun kemudian ada seorang tukang cukur yang selalu menegur dan mengajari asa” Kata Imam Abu Hanafi.
Bertahallul adalah salah satu dari rukun ibadah haji. Karena itulah maka Imam Hanafi datang kepada seorang tukang cukur untuk memotong rambut kepalanya.
“Berapa ongkosnya? Tanya Hanfi.
“Semoga Allah memberimu hidayah. Sebenarnya dalam ibadah haji itu tidaklan menjadi kewajiban. Silakan and duduk dan berikan sesuatu seiklas hati tuan”. Jawab tukang cukur.
 
Lalu dengan perasaan malu dengan membelakangi kiblat. Kembali tukang cukur itu menegurnya.
“Duduklah dengan menghadap kiblat”, katanya.
Betapa malunya Imam Hanafi mendapat teguran itu, namun setelah beliau sadar bahwa sebuat kebenaran itu tak pandang dari siapa datangnya dan apapun kedudukannya, meskipun ia hanya seorang tukang cukur. Kemudian Imam Hanafi menyodorkan bagian kepala kirinya untuk dipotong rambutnya. Dan tukang cukur itupun menegurnya kembal.
“Putarlah kearah kanan ! Karena yang demikian itu lebih baik”. Katanya. Dengan taat Imam Abu Hanafi melaksanakan perintahnya. Sang Ulama besar itu tak dapat berkutik karena sangat malu. Dan beliau hanya duduk terdiam sambil memperhatikan tukang cukur itu.
“Mengapa tuan hanya diam saja, Bertakbirlah” Kembali si tukang cukur tersebut menegurnya, sehingga Imam Hanafi pun dibuat malu untuk kesekian kalinya. Namun beliau tetap melaksanakan tegurannya itu. Usai dipotong rambut kepalanya, Lalu imam Abu Hanafi berdiri meninggalkannya.
 
“Mau kemana?”. Tanya tukang cukur itu.
“Akan meneruskan perjalanan”. Jawab Imam Abu Hanafi.
“Sholatlah dua rakaat sebelum tuan meneruskan perjalanan”, Pesan tukang cukur itu.
Maka dipatuhilah perintah tersebut, dengan melaksanakan sholat dua rakaat.
“Tak mungkin seorang tukang cukur bisa?”Tanya Imam Abu Hanafi dalam hati. Dengan memberanikan diri, akhirnya beliau bertanya kepada tukang cukur itu.
“Dari mana engkau peroleh ilmu tersebut?” tanya Imam Abu Hanafi.
“Ilmu Allah itu saya peroleh dari Atha’ bin Rabbah.” Jawab situkang cukur itu.
“Siapa dia”, Tanya Imam Abu Hanafi tampak penasaran. Kemudian situkang cukur itu pun menjawab kembali
“Atha’ bin Rabah adalah seorang budak keturan Habsyi, namun ia seorang yang sangat dihormati karena tingginya ilmunya. Dan ia juga adalah seorang ulama yang hidup pada abad pertama hijriyah dan berhak menberikan fatwa di Masjid Haram.

Inilah sebuah kebuktian janji Allah terhadap umatnya, Yang diturunkan lewat Al-Qur’an bahwa Allah akan meninggikan derajat suatu kaum Yaitu karena Ilmunya, Semoga kisah tukang cukur dan Imam Abu Hanafi itu menjadi pelajaran bagi kita, bahwa kita harus selalu menghargai setiap orang, karena orang yang mungkin kita anggap hina dihadapan manusia namun sangat mulia dihadapan Allah S.W.T.

Cerpen Romance~


Janji Terakhir


Pagi ini dia datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu membuatku bisa memaafkannya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dia., meski dia sering menyakiti hatiku dan membuatku menangis. Tidak hanya itu, akupun kehilangan sahabatku, aku tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang aku. Aku akan tetap memaafkan Elga, meskipun dia sering menghianati cintaku.

“Aku gak tau harus bilang apa lagi, buat kesekian kalinya kamu selingkuh! Kamu udah ngancurin kepercayaan aku!”

Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat.

“Maafin aku Nilam, maafin aku! Aku janji gak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji Nilam. Aku sayang kamu! Please, kamu jangan nangis lagi!”

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memaafkannya, aku tidak ingin kehilangan Elga, aku sangat mencintainya.

Malam ini Elga menjemputku, kami akan kencan dan makan malam. Aku sengaja mengenakan gaun biru pemberian Elga dan berdandan secantik mungkin. Kutemui Elga di ruang tamu, Dia tersenyum, memandangiku dari atas hingga bawah.

“Nilam, kamu cantik banget malam ini.”

“Makasih. Kita jadi dinner kan?”

“Ya tentu, tapi Nilam, malam ini aku gak bawa mobil dan mobil kamu masih di bengkel, kamu gak keberatan kita naik Taksi?”

“Engga ko, ya udah kita panggil Taksi aja, ayo.”

Dengan penuh semangat aku menggandeng lengan Elga. Ini benar-benar menyenangkan, disepanjang perjalanan Elga menggenggam erat tanganku, aku bersandar dibahu Elga menikmati perjalanan kami dan melupakan semua kesalahan yang telah Elga perbuat padaku.

Kami berhenti disebuah Tenda di pinggir jalan. Aku sedikit ragu, apa Elga benar-benar mengajakku makan ditempat seperti ini. Aku tahu betul sifat Elga, dia tidak mungkin mau makan di warung kecil di pinggir jalan.

“Kenapa El? Mienya gak enak?”

“Enggak ko, mienya enak, Cuma panas aja. Kamu gak apa-apa kan makan ditempat kaya gini Nilam?”

“Enggak. Aku sering ko makan ditempat kaya gini. Mie ayamnya enak loch. Kamu kunyah pelan-pelan dan nikmati rasanya dalam-dalam.”

Aku yakin, Elga gak pernah makan ditempat kaya gini. Tapi sepertinya Elga mulai menikmati makanannya, dia bercerita panjang lebar tentang teman-temannya, keluarganya dan banyak hal.
Dua tahun bersama Elga bukan waktu yang singkat, dan tidak mudah untuk mempertahankan hubungan kami selama ini. Elga sering menghianati aku, bukan satu atau dua kali Elga berselingkuh, tapi dia tetap kembali padaku. Dan aku selalu memaafkannya, itu yang membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Mereka benar, aku wanita bodoh yang mau dipermainkan oleh Elga. Meskipun kini mereka menjauhiku, aku tetap menganggap mereka sahabatku.

Selesai makan Elga Nampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu dari saku celananya.

“Apa dompetku ketinggalan di Taksi?”

“Yakin di saku gak ada?”

“Gak ada. Gimana dong?”

“ya udah, pake uang aku aja. Setiap jalan selalu kamu yang traktir aku, sekarang giliran aku yang traktir kamu. Ok!”

“ok. Makasih ya sayang, maafin aku.”

Saat di kampus, aku bertemu dengan Alin dan Flora. Aku sangat merindukan kedua sahabatku itu, hampir empat bulan kami tidak bersama, hingga saat ini mereka tetap sahabat terbaikku. Saat berpapasan, Alin menarik tanganku.

“Nilam, kamu sakit? Ko pucet sich?”

Alin bicara padaku, ini seperti mimpi, Alin masih peduli padaku.

“Engga, Cuma capek aja ko Lin. Kalian apa kabar?”

“Jelas capek lah, punya pacar diselingkuhin terus! Lagian mau aja sich dimainin sama cowok playboy kaya Elga! Jangan-jangan Elga gak sayang sama kamu? Ups, keceplosan.”

“Stop Flo! Kasian Nilam! Kamu kenapa sich Flo bahas itu mulu? Nilam kan gak salah.”
“Udah dech Alin, kamu diem aja! Harusnya kamu ngaca Nilam! Kenapa kamu diselingkuhin terus!”

Flora bener, jangan-jangan Elga gak sayang sama aku, Elga gak cinta sama aku, itu yang buat Elga selalu menghianati aku. Selama ini aku gak pernah berfikir ke arah sana, mungkin karena aku terlalu mencintai Elga dan takut kehilangan Elga. Semalaman aku memikirkan hal itu, aku ragu terhadap perasaan Elga padaku. Jika benar Elga tidak mencintaiku, aku benar-benar tidak bisa memaafkannya lagi.

Meskipun tidak ada jadwal kuliah, aku tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok. Setelah larut malam dan kampus sudah hampir sepi aku pun pulang. Saat sampai ke tempat parkir, aku melihat Elga bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu karena dia membelakangiku. Mungkin Elga menghianatiku lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Mereka masuk ke dalam mobil, aku bisa melihat wanitaitu, sangat jelas, dia sahabatku, Flora….

Sungguh, aku benar-benar tidak bisa memaafkan Elga. Akan ku pastikan, apa Elga akan jujur padaku atau dia akan membohongiku, ku ambil ponselku dan menghubungi Elga.

“Hallo, kamu bisa jemput aku sekarang El?”

“Maaf Nilam, aku gak bisa kalo sekarang. Aku lagi nganter kakak, kamu gak bawa mobil ya?”

“Emang kakak kamu mau kemana El?”

“Mau ke…, itu mau belanja. Sekarang kamu dimana?”

“El! Sejak kapan kamu mau nganter kakak kamu belanja? Sejak Flora jadi kakak kamu? Hah?!!”

“Nilam, kamu ngomong apa sayang? Kamu bilang sekarang lagi dimana?”

“Aku liat sendiri kamu pergi sama Flora El! Kamu gak usah bohongin aku! Kali ini aku gak bisa maafin kamu El! Kenapa kamu harus selingkuh sama Flora El? Aku benci kamu! Mulai sekarang aku gak mau liat kamu lagi! Kita Putus El!”

“Nilam, ini gak…….”

Kubuang ponselku, kulaju mobilku dengan kecepatan tertinggi, air mataku terus berjatuhan, hatiku sangat sakit, aku harus menerima kenyataan bahwa Elga tidak mencintaiku, dia berselingkuh dengan sahabatku.

Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk kuliah, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menangis. Beruntung Ibu dan Ayah mengerti perasaanku, mereka memberikan semangat padaku dan mendukung aku untuk melupakan Elga, meskipun aku tau itu tak mudah. Setiap hari Elga datang ke rumah dan meminta maaf, bahkan Elga sempat semalaman berada di depan gerbang rumahku, tapi aku tidak menemuinya. Aku berjanji tidak akan memafkan Elga, dan janjiku takan kuingkari, tidak seperti janji-janji Elga yang tidak akan menghianatiku yang selalu dia ingkari.

Hari ini kuputuskan untuk pergi kuliah, aku berharap tidak bertemu dengan Elga. Tapi seusai kuliah, tiba-tiba Elga ada dihadapanku.

“Maafin aku Nilam! Aku sama Flora gak ada hubungan apa-apa. Aku Cuma nanyain tentang kamu ke dia Nilam!

“Kita udah putus El! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang kamu bebas! Kamu mau punya pacar Tujuh juga bukan urusan aku!”

“Tapi Nilam…..”

Aku berlari meninggalkan Elga, meskipun aku sangat mencintainya, aku harus bisa melupakannya. Elga terus mengejarku dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku tak pedulikan dia, aku semakin cepat berlari dan menyebrangi jalan raya. Ketika sampai di seberang jalan, terdengar suara tabrakan, dan…………

“Elgaaaa…..”

Elga tertabrak mobil saat mengejarku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepala Elga.

“Elga, maafin aku!”

“Nilam. Ma-af ma-af a-ku jan-ji jan-ji ga sa-ki-tin ka-mu la-gi a-ku cin-ta ka-mu a-ku ma-u ni-kah sa-ma kam……”

“Elgaaaaaa……”

Elga meninggal saat itu juga, ini semua salahku, jika aku mau memaafkan Elga semua ini takan terjadi. Sekarang aku harus menerima kenyataan ini, kenyataan yang sangat pahit yang tidak aku inginkan, yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Elga menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku, disaat terakhir dia berjanji takan menyakitiku lagi, disaat dia mengatakan mencintaiku dan ingin menikah denganku. Dia mengatakan semuanya disaat meregang nyawa ketika menahan sakit dari benturan keras, ketika darahnya mengalir begitu deras membasahi aspal jalanan.
Rasanya ingin sekali menemani Elga didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, kedinginan, aku tidak bisa berhenti menangis, menyesali perbuatanku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Satu minggu setelah Elga meninggal, aku masih menangis, membayangkan semua kenangan indah bersama Elga yang tidak akan pernah terulang lagi. Senyuman Elga, tatapan Elga, takan pernah bisa kulupakan.

“Nilam sayang, ini ada titipan dari Ibunya Elga. Kamu jangan melamun terus dong! Kamu harus bangkit! Biar Elga tenang di alam sana. Ibu yakin kamu bisa!”

“Ini salah aku Bu. Aku butuh waktu.”

Kubuka bingkisan dari Ibu Elga, didalamnya ada kotak kecil berwarna merah, mawar merah yang telah layu dan amplop berwarna merah. Didalam kotak merah itu terdapat sepasang cincin. Aku pun menangis kembali dan membuka amplop itu.

Dear Nilam,
    
Nilam sayang, maafin aku, aku janji gak akan nyakitin kamu, aku sangat mencintai kamu, semua yang udah aku lakuin itu buat ngeyakinin kalo Cuma kamu yang terbaik buat aku, Cuma kamu yang aku cinta.
    
Aku harap, kamu mau nemenin aku sampai aku menutup mata, sampai aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan cincin ini akan menjadi cincin pernikahan kita.
    
Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu Nilam.
    
Love You    
Elga

Air mataku mengalir semakin deras dari setiap sudutnya, kupakai cincin pemberian Elga, aku berlari menghampiri Ibu dan memeluknya.

“Bu, aku udah nikah sama Elga!”

“Nilam, kenapa sayang?”

“Ini!” Kutunjukan cincin pemberian Elga dijari manisku.

“Nilam, kamu butuh waktu nak. Kamu harus kuat!”

“Sekarang aku mau cerai sama Elga Bu!” kulepas cincin pemberian Elga dan memberikannya pada Ibu.

“Aku titip cincin pernikahanku dengan Elga Bu! Ibu harus menjaganya dengan baik!”
Ibu memeluku erat dan kami menangis bersama-sama.